Sunday, June 21, 2020

Korelasi Pendidikan Dengan Hasil Karya, Mau dan Alasan ( Daring Seri 38)

Oleh Nuraini Ahwan

"Menulislah setiap hari dengan sepenuh hati. Buktikan apa yang akan terjadi. Biarkan tulisan yang akan menemukan takdirnya sendiri. Cintailah kata agar ia juga mencintaimu. Membacalah agar mampu merangkai kalimat demi kalimat menjadi indah dan bermakna." Rangkaian kalimat ini merupakan pelecut diri yang sengaja saya tulis pada setiap mengawali tulisan saya di blog. Saya bermasksud menyemangati diri dan pembaca agar memberikan sedikit waktu untuk yang namanya menulis dan membaca.

Alhamdulilah. bisa melepas sejenak  tulisan yang berputar-putar sekitar kegiatan pembelajaran jarak jauh bagi siswa karena sudah kegiatan akhir tahun pelajaran.  Grup whatsaap kelas  yang sudah beberapa bulan belakangan ini memenuhi memori handphone saya dan memunuhi  memori kepala saya. Grup yang membuat kepala cenat-cenut. Perasaaan rada-rada gemes menghadapi anggota grup yang terdiri dari orang tua siswa dengan latar belakang beragam. Dengan segala celoteh di luar konteks pembicaraan.  Yang sibuk memposting sesuatu yang tidak berkaitan dengan pembelajaran. Meskipun diingatkan berkali-kali.

Kini saatnya blog,  diwarnai dengan  tulisan tentang pembelajaran jarak jauh bagi saya melalui grup menulis yang sudah saya ikuti maupun dari media sosial facebook. Belajar  dari blog teman grup dan dari status teman di facebook. Tulisan ini merupakan hasil jalan-jalan saya di blog teman dalam anggota grup menulis yang diwadahi oleh aplikasi whatsaap grup.  Tulisan teman yang saya baca sangat menyentuh hati, sesuai dengan perasaan saya, sesuai dengan pengalaman sebagai pencinta literasi yang baru mulai belajar menulis. 

Saya berkunjung ke blog miliknya Bapak Ngainun Naim , https://spirit.blogspot.com/2020. Judul tulisan beliau adalah "Kunci dan Alasan." Tulisan beliau berisi tentang  begitu sulitnya  konsistensi seseorang untuk menulis.  Konsistensi itu memerlukan perjuangan. Beliau juga memaparkan tentang kehidupan yang sesungguhnya bergerak di antara dua kutub: idealitas dan realitas. Jika kita seperti berlari dari angka 0 menuju  100 , maka angka 0 adalah realitas dan angka 100 adalah idealitas. Jika impian kita terpenuhi, mungkin derajatnya mendekati 100.

Perspektif di atas digunakan untuk memotret tradisi menulis dan realitas yang dihadapi tidak seperti idealitas yang diharapkan. Hanya sebagian saja yang mau dan mampu untuk menulis. Sesungguhnya semua mampu menulis karena latar belakang pendidikan yang jauh dari cukup untuk menulis bahkan berlebih. Ada yang S1, S2 dan S3 jika melihat kenggotaan dalam grup. 
Ini membuktikan pendidikan tidak berkorelasi secara signifikan dalam menghasilkan karya. Persoalannya adalah  Mau.  

Bapak Ngainun Naim, menyebut nama penulis terkenal dalam paparan beliau, Ajib Rosidi, satrawan yang banyak menghasilkan buku ternyata tidak tamat SD hanya lulusan SMP, D.Zanawi Imron juga lulusan SMP, Ahmad Tohari, hanya lulusan SMA.

Tulisan bapak Ngainun Naim yang telah memunculkan nama penulis terkenal dengan latar belakang pendidikan yang tidak tinggi,  membuat semangat saya untuk menulis semakin tinggi. Saya pernah  merasa berkecil hati ketika bertemu seorang teman yang sedang menempuh pendidikan pasca sarjana. Ketika bincang-bincang kami mengarah kepada kegiatan menulis, ia menyebut pendidikan sangat berpengaruh kepada orang yang mau membaca. Begitu melihat gelar pendidikan yang disandang oleh penulis, maka tulisan mereka akan di kesampingkan. Dikatakan tidak layak untuk jadi referensi. Pasca sarjana akan merujuk atau mejandikan buku karya S1 untuk referensi, masak ya?

Mengakhiri perbincangan bersama teman, apakah  saya mengatakan akan berhenti menulis saat itu? Tidak!
Saya mengatakan bahwa saya menulis tentang apa saja yang saya lihat, saya dengar, saya rasakan, saya baca dan saya pikirkan. Tulisan saya tidak ilmiah. Saya hanya bertutur atau bercerita lewat tulisan sederhana. . Jadi boleh memberikan saran tetapi tidak untuk dikritik karena tulisan yang tidak  berdasarkan referensi yang jelas,  tulisan  tidak memenuhi kreteria, mungkin tidak jelas alurnya, tidak menunjukkan adanya "kegelisahan akademik" tidak ada metodologi, sistematika  tidak jelas, kerangka tidak jelas dan sebagainya. Seperti yang diungkap oleh bapak Ngainun Naim dalam blog beliau pada tulisan yang berjudul "Kalau Sekedar Kritik, Semua Orang Bisa"

Barangkali  saja,  tulisan sederhana dari seorang yang tidak berpendidikan tinggi ini, akan ada pembacanya  dan bisa bermanfaat bagi orang banyak. Meskipun secara jujur saya mengakui bahwa ada keraguan saat saya mengajak teman-teman untuk menulis. Melihat pendidikan teman-teman yang tinggi. tapi ada Ajib Rosidi, D. Zarwan dan Ahmad Tohari ynag membuktikan bahwa pendidikan tidak ada korelasi secara signifikan dengan karya seperti yang dicontohkan oleh Bapak Ngainun Naim. Yang penting ada kemauan, tidak perlu banyak berdebat tentang teori dan jangan banyak alasan

Meskipun pendidikan tidak berkorelasi secara signifikan terhadap karya berupa tulisan, namun pendidikan tinggi bagi saya sangat mempengaruhi kepercayaan diri dalam menulis. Jika ada kemauan dan tidak banyak alasan. Suatu contoh dengan perasaan diri yang hanya lulusan S1. Berbagi tulisan kepada teman yang pendidikannya lebih tinggi terasa garing saja bagi saya. Saya merasa tidak pantas. Sampai berpikir, mungkinkah karena saya hanya lulusan S1 sehingga tulisan saya tidak dibaca? Ah...lepas buang perasaan  buruk sangka. Menulislah sebagai suatu kebutuhan. Jika orang tidak membaca tulisan yang dipublish, ya tidak apa-apa. Jika ada yang membaca dan suka , maka itu adalah bonus.. 

Apakah tidak ingin melanjutkan pendidikan karena usia?
Tidak!
Sangat ingin melanjutkan pendidikan, tetapi banyak hal yang dipertimbangkan. tentunya bukan karena usia. Saya melihat status teman dalam facebook tanggal 19 Juni 2020. Statusnya tentang tokoh bangsa yang menyelesaikan pendidikannya di usia yang tidak lagi muda. "Alumni UT: Bapak Djoko Suyanto, Almarhumah Ibu Any SBY, Ibu Linda.A.Gumelar, Bapak Wiranto, Bapak Moeldoko, dan Inu Mooryati Soedibbjo. Ibu Moer lulus UT saat berusia 69 tahun, lulus S2 UNS ketika berusia 71 tahun, dan lulus S3 UI ketika berusia 81 tahun. "UT: Making higher education open all."
Akun fb milik bapak Minhajul Ngabidin, yang membagikan status milik Maximus Gorky Sembiring bersama Ojat Darojat dan Tian Belawati
Termotivasi untuk melanjutkan studi, melihat tokoh penting dengan usia menjelang senja masih haus dengan pendidikan.


Tulisan Bapak Ngainun Naim menjadi pelecut semangat untuk menulis dan status yang ada pada akun Fb milik Bapak Minhajul Ngabidin menjadi  pembakar semangat untuk pendidikan. Untuk Bapak Ngainun Naim, Insyaallah saya akan konsisten untuk menulis. Untuk bapak Min, semoga saya bisa melanjutkan pendidikan meskipun tidak sekarang.

Salam Semangat Literasi dari SDN 1 Dasan Tereng, (Sdensa Santer Apik)

Lombok, 21 Juni 2020
Hp. 081805597038

9 comments:

  1. Panjang dan mengasyikan .jadi jejak literasi

    ReplyDelete
  2. Aamiin...
    Doa yang terbaik utk bunda

    Semangatnya bunda menyemangatiku..

    ReplyDelete
  3. Terima kasih sayang... terus semangat. Mendukung jenjang kepangkatan..masih muda harus berkarya lebih. Banyak kesempatan..

    ReplyDelete
  4. Menulis merupakan proses pembelajaran namun menghasilkan tulisan merupakan jati diri penulis yg terus bergelora, semangat bunda

    ReplyDelete

Forum Pemangku Kepentingan ( Sekolah Penggerak Angkatan 2)

 Oleh Nuraini Ahwan.  Da lam rangka mendorong dan mempercepat terjadinya transformasi satuan pendidikan dan terciptanya ekosistem pendukung ...