Kepala Cenat-Cenut, Butuh Stok Sabar yang Tinggi
Oleh Nuraini Ahwan
Menulis adalah sebuah proses. Proses mulai dari menggali ide sampai pada tulisan siap dikonsumsi oleh orang lain. Ups......salah, bukan dikonsumsi ,. seperti makanan saja. Maksudnya sampai tulisan siap dibaca orang. Mulai dari menggali ide sebut saja sebagai pra menulis, menulis, membaca ulang, lalu mengedit dan mengirim tulisan. Proses yang kadang saya rasakan tertatih-tatih dalam tiap posesnya atau tahapannya.
Saya mengajak anda gila (gali ide langsung action) pada tulisan saya sebelumnya agar tidak kehilangan ide saat ide itu baru saja ditemukan. Itu barulah langkah awal bahkan masih pada tahap pra menulis. Ups.....jangan salah lagi ya,....saya bukan bermaksud menakut-nakuti, lho...! Bukan pula bermaksud mengatakan menulis itu sulit sehingga anda tidak memiliki keberanian untuk menulis. Tapi,....dengan mengetahui bahwa menulis itu melewati tahapan atau proses maka kita akan menghargai sesederhana apa pun tulisan seseorang.
Melewati proses menulis sampai pada proses editing tulisan merupakan perjuangan keras. Seorang penulis pemula setidaknya berusaha menjadi editor untuk tulisannya sendiri. Nah,...ini yang membutuhkan pemikiran super ekstra dan membutuhkan stok sabar yang tinggi.
Saya pernah membaca curahan pengalaman Bapak penggagas grup RVL (Much.Khoiri), beliau mengatakan bahwa ketika sedang mengedit tulisan seseorang, tak jarang kepala cenat-cenut. Apalagi tulisan yang masih berantakan , diserahkan mentah-mentah. Waktu itu saya membalas curahan hati beliau dalam tulisan saya, jika bapak menjadi editor tulisan saya, mungkin tidak hanya kepala yang cenat-cenut, mungkin bisa jadi kaki dihentak-hentakkan karena geregetan, he he
Begitulah, proses menulis, menjadi editor tulisan sendiri sebelum sampai ke sentuhan halus tangan-tangan para editor yang sudah punya lisensi, sungguh menguras pikiran dan harus punya stok sabar tingkat tinggi.
Ketika saya mengeditori tulisan sendiri, kepala saya pusing. Sewaktu saya pindah dari komputer desktop di sekolah ke lattop di rumah, tulisan berubah tatanannya. Tidak ada spasi di setiap kalimat. Sambung menyambung seperti mobil tanpa rem, nyeruduk....kalimat di depannya.
Bisa dibayangkan, saya harus mengatur spasi untuk 150 halaman. Mungkin bagi yang sudah mahir IT, ada cara khususnya supaya cepat, ya tidak menjadi masalah. Lah,....saya memperbaikinya satu persatu. Belum lagi ketika diubah menjadi Pdf, tambah aneh. Ada paragraf tak dikenal yang muncul. Tambahlah pusing kepala. Andai saja ada bintang sepuluh puyer obat sakit kepala, mungkin sudah saya minum untuk menghilangkan sakit kepala saat itu.
Belum lagi harus belajar tentang ejaannya, tata bahasanya, aturan penulisannya dan lain-lain. Memang ada nilai plus ketika kita ingin mengetahui tentang kepenulisan yang benar. Mengedit sambil mencari referensi di embah google agar tidak salah. Membaca masukan dari teman ketika tulisan yang kita posting sebelumnya mendapat komentar perbaikan. Menjadi tambah pengetahuan dari membaca.
Begitulah proses menulis. Saya sangat setuju ketika para pakar mengatakan bahwa sesungguhnya menulis itu adalah berpikir. Memang betul, ketika menulis banyak sekali yang harus dipikirkan. Memilih diksi yang tepat. Menyusun diksi menjadi kalimat yang benar dan lain-lain.
Saya juga sangat setuju dengan pendapat para pakar bahwa penulis itu adalah pembaca juga.
Bagaimana seorang penulis yang tidak menjadi pembaca, tentu ia akan fakir kata-kata. (Ini diriku)
Sesederhana apapun tulisan seseorang, paling tidak ia sudah melalui proses dan berpikir. Pasti ada hal sederhana yang kita bisa ambil dari tulisan yang sederhana itu.
Atau mungkin sederhana bagi kita, tapi bermanfaat bagi orang lain.
Lombok, 22 Maret 2021
Butuh proses juga untuk memahami IT ...
ReplyDeleteSemangat bun
Kadang hilang semangat, maunya momong cucu aja he he
Delete...proses editing tulisan merupakan perjuangan keras. Seorang penulis pemula setidaknya berusaha menjadi editor untuk tulisannya sendiri. Nah,...ini yang membutuhkan pemikiran super ekstra dan membutuhkan stok sabar yang tinggi.(by Nuraini ahwan ) ...inilah yg menjadi momok buat saya sehingga tidak bisa-bisa menulis sampai sekarang...hehe ,ayo terus semangat kawanku yg hebat suatu saat dikau akan menjadi penulis yg handal...
ReplyDeleteAamiin, ayo jangan takut...pasti bisa
DeletePengalaman yang mengesankan dan berbuah manis
ReplyDeleteKeren bunda pengalamannya.. Saya pun pernah mengalaminya he he bahkan sempat nangis gegara tulisan seperti mobil gakbada rem...
ReplyDeleteGih ibu guru inges
DeleteEditing, itu satu tahapan menarik.. Mereka yang mampu melakukan proses ini pada tahapan menyusun untuk menjadi buku lebih ribet. Saya pernah mengalami hal ini. Seorang Editor harus membaca secara utuh naskah yang disodorkan padanya. Di situ tugasnya untuk melakukan koreksi pada segala aspek tulisan. Ejaan, tanda baca, diksi, dan jika perlu mengganti frase menempatkan paragraf yang tepat pula. Akh...saya ngibul. Blogger Nuraini sudah mahir dan telah masuk tahap bagus, GILA
ReplyDeleteBenar benar harus GILA makkkkk
DeleteBener bu..pengalaman yang menyenangkan plus ada cenut2, hee.apalagi sudah deadline..
ReplyDeleteKereeeen bu tulisannya, saya share di kelas saya ya buu. Sukses terus dan terus memberikan inspirasi kepada anak negeri.
ReplyDeleteSalam Inspirasi
Ibu guru cantik
Guru inspirasi NTT
Bunda Lilis Sutikno
Terima kasih, silahkan bunda lilis cantik
DeleteMengedit = memadukan nalar dan rasa.
ReplyDeleteCemungut, Bu!
Kok rasanya ada terus yg harus dibenahi setiap kali baca ulang ....bikin cenat cenut ...
ReplyDeleteBenar.... Ada saja yg dibenahi ulang, sampai sampai gak selesak
DeleteKeren,,. Pengalaman pribadi... Proses editing membuat tulisatu enak dibaca,, tetapi harus dilakukan dengan penuh perjuangan...Semangat ...💪💪💪
ReplyDeleteKeren,,. Pengalaman pribadi... Proses editing membuat tulisatu enak dibaca,, tetapi harus dilakukan dengan penuh perjuangan...Semangat ...💪💪💪
ReplyDeleteKeren,,. Pengalaman pribadi... Proses editing membuat tulisatu enak dibaca,, tetapi harus dilakukan dengan penuh perjuangan...Semangat ...💪💪💪
ReplyDeleteAlhamdulillah, pengalaman Ibu menjadi motivasi untuk belajar menulis lebih baik lagi.
ReplyDeleteSemangat....
DeleteTerima kasih teman teman semua yang baik hatinya
ReplyDelete