Tentang diri, dalam dua kisah di tahun 2018 dan tahun 2020.
Oleh Nuraini Ahwan
Oleh Nuraini Ahwan
Tahun 2018, ketika terjadi gempa bumi Lombok dan Sumbawa, saya boleh dikatakan sosok pemberani (ukuran sendiri tanpa membandingkan dengan orang lain, atau ukuran untuk seorang wanita). Kondisi Lombok di pagi hari sunyi mencekam setelah semalaman diguncang gempa bumi tanpa henti.
Di pagi dengan kondisi seperti itu, memberanikan diri ke sekolah, menelusuri ruang demi ruang dengan menenteng kamera layaknya seorang fotografer handal. Mengambil gambar dari sudut satu ke sudut lainnya. Sehingga terekam semuanya kondisi bangunan sekolah. Terutama yang dikhawatirkan adalah gedung bertingkat yang baru saja selesai dibangun. Tampak retakan di beberapa titik. Beruntung sekolah tidak berada di jalur gempa.
Sebelum berangkat, anak di rumah menegur, ia mengatakan, "Murid ibu saja yang ibu perhatikan, Bagaimana kita yang di rumah kalau ada gempa? Sekolah ibu perhatikan, lihat rumah kita saja hancur kayak gini.
Tidak sebatas itu, keberanian dipaksa oleh motivasi diri ketika melihat siswa siswi tidak ada yang berani masuk sekolah. Meskipun kondisi sudah dinyatakan aman.
Berjuang mengajak anak untuk kembali ke sekolah dengan tidak ada rasa takut. Berkeliling dari kampung yang satu ke kampung yang lain. Dari pengungsian yang satu ke pengungsian yang lain. Semua dilakukan dengan tujuan menguatkan anak, menghilangkan trauma anak terhadap kejadian gempa bumi Lombok dan Sumbawa
Tidak sekali, dua kali bahkan berkali kali mencari mereka ke pengungsian. Memberikan pengertian kepada orang tua agar putra putrinya diijinkan untuk sekolah..Ketika itu gempa tidak dipikirkan. Jika terjadi bisa berlari karena bisa dirasakan. Lain dengan si corona kita tidak bisa berlari, karena kita tidak melihatnya dan tak merasakannya (semoga tidak)
Di depan guru, saya tampak paling berani. Ketika teman masuk kelas mengajar berapa saja siswa yang berani masuk, ibu-ibu guru buka sepatu, ibu guru tidak berani memakai rok, mereka memakai celana panjang. Kata mereka supaya gampang berlari kalau ada gempa.
Sayalah yang paling berani. Saya katakan pada mereka kita tidak boleh tunjukkan rasa takut kita pada anak anak. Kalau guru saja takut, bagaimana dengan anak-anak?
Wah.....saya berlagak seperti pemberani saja, padahal takutnya juga luar biasa. Seng berbunyi saya mengira gempa. Getaran mobil yang lewat juga saya kira gempa.
Tidak dengan tahun ini, ketika wabah corona virus disease 19 (covid 19) melanda negeri.
Saya tidak memiliki keberanian lebih untuk berkunjung ke rumah siswa, dari kampung ke kampung asal siswa. Saya tidak memiliki kepercayaan diri lebih untuk meminta teman guru mengunjungi siswa di rumahnya. Mungkin saya adalah seorang yang penakut, meskipun protokol kesehatan sudah dipatuhi.
Lagi-lagi aturan sosial distanching, psyical distancing dan aturan aturan lainnya yang saya pikirkan. lagi-lagi bayangan pasien covid dan pemakaman yang begitu ngeri yang saya pikirkan.
Apakah ini takut yang berlebihan?
Apalagi ketika di sekitar sekolah ada yang positif covid 19, dengan suasana yang mencekam. Setiap gang ditutup dan dipasangkan portal. Ada gang yang ditutup mati dengan tulisan besar"Kampung kami, RT kami tidak terima tamu"
Meminta teman berkunjung ke rumah siswa? Lagi lagi muncul pemikiran ...jangan..jangan...
Jangan-jangan nanti kalau guru ke sana orang tua tidak terima. Jangan-jangan balik dari sana guru-guru kena juga..Lalu salah siapa?.
Salah saya yang menyuruh....?
Inilah tentang diri di saat bencana dan di saat covid 19.
Diri yang sama, rasa yang berbeda
Jadi takutnya saya, di dua kejadian ini berbeda. Di saat bencana gempa bumi, saya masih bisa berbuat di sela -sela rasa takut, tetapi di wabah corona ini, ibarat perang dengan musuh yang tak kelihatan. Ketakutan saya melebihi ketika gempa dulu. Di masa pandemi covid 19 ini, saya tidak bisa berbuat lebih untuk tugas selain mengandalkan daring, memberdayakan yang ada, memaksimalkan kegiatan dan meminimalisir kekurangan. Menjalin kerjasama yang lebih dengan orang tua meskipun tak bisa bertatap pandang secara langsung. Meminta wali murid/siswa untuk berbagi, tolong menolong dan gotong royong dengan wali murid/siswa yang tidak bisa mengakses pelajaran karena tidak memiliki handphone android. Saya sebatas menggunakan aplikasi whatshap grup kelas.
Kisah tentang diri, saya tuliskan untuk melukiskan inilah diri ketika dihadapkan pada pilihan antara tugas dan melawan rasa takut. Antara tugas dan keselamatan baik diri maupun rekan kerja. Keselamatan diri untuk melindungi keluarga. Keselamatan diri untuk keselamatan yang lain (siswa) dengan tetap memperhatikan psycal distanching, sosial distanching, Work From Home, Teaching From Home, Learn From Home, Stay At Home dan sejenisnya.
Lombok, 27 Mei 2020
Edisi Penyesalan tidak bisa berbuat lebih.
Mohon Krisan dari pembaca.
Tulisan refleksi jiwa yang sangat dalam maknanya. Hanya kita yang tau alasannya. Semua kita kembalikan pada kekuatan hati.
ReplyDeleteTerima kasih bunda, slalu mendukung. Semoga bunda selalu sehat.
ReplyDeleteMantul ...
ReplyDeleteBunda sang pemberani saat gempa itu luar biasa
Tp adanya covid 19 ini membuat semua orang tidak berdaya dalam ketakutan
Jadi, tdk salah kalau takut sekarang ini ya
DeleteSuper sekali dalam refleksi ini. Salam Literasi dari Timor
ReplyDeleteTerima kasih, sahabat NTB yang dari NTT
DeleteKeren dan menginspirasi bunda...tetap semangat mendampingi anak bangsa
ReplyDeleteSama sama saling mendukung
Delete